Sebuah film dokumenter baru, “Fiddler on the Moon: Yudaism in Space,” membahas pertanyaan provokatif: bagaimana salah satu agama tertua di dunia akan berkembang seiring dengan perluasan jangkauan umat manusia ke luar Bumi? Film ini mengeksplorasi tantangan praktis dan filosofis dalam mempertahankan ketaatan Yahudi di lingkungan di mana prinsip-prinsip dasar – ketepatan waktu berdasarkan matahari terbenam dan siklus bulan – menjadi usang.
Dilema Inti: Tradisi di Perbatasan Baru
Film dokumenter ini menyoroti ketegangan antara praktik keagamaan yang mengakar dan realitas perjalanan luar angkasa. Hari libur Yahudi, yang diatur oleh matahari terbenam dan kalender lunar, menimbulkan masalah logistik langsung di orbit (mengalami enam belas matahari terbit setiap hari) atau di benda langit seperti Mars (dengan hari yang lebih lama 40 menit). Ini bukanlah masa depan yang bersifat hipotetis; film ini mengacu pada pengalaman astronot Israel Ilan Ramon, yang, sebelum kematiannya yang tragis dalam bencana Kolumbia tahun 2003, berkonsultasi dengan seorang rabi tentang perayaan Sabat di luar angkasa. Solusinya: ikuti waktu kendali misi di Houston.
Dilema ini bukanlah hal baru. Film ini menghubungkannya dengan preseden sejarah seperti tentara Yahudi pada Perang Dunia II di dekat Kutub Utara, yang mengikuti zaman Anchorage, Alaska, untuk merayakan hari Sabat. Tema yang mendasarinya jelas: Yudaisme, seperti agama lainnya, selalu beradaptasi dengan perubahan keadaan.
Sains, Iman, dan Kekuatan Ritual yang Menyatukan
Para pembuat film menekankan bahwa agama dan sains bukanlah kekuatan yang berlawanan. Ahli astrofisika Neil deGrasse Tyson mencatat bahwa tradisi keagamaan, baik perayaan Yahudi atau doa Muslim, menciptakan ritme sosial yang menyatukan. Pernyataannya sangat jelas: jika praktik kolektif penting di Bumi, mengapa meninggalkannya di luar angkasa?
Film dokumenter ini juga menunjukkan sejarah panjang adaptasi orang-orang Yahudi di bawah tekanan. Dari penganiayaan hingga pengasingan, komunitas ini berulang kali menghadapi ancaman nyata. Sejarah ini, menurut film tersebut, secara unik mempersiapkan mereka menghadapi tantangan kehidupan di luar bumi. Seperti yang dinyatakan oleh Rabbi Ben-Tzion Spitz, orang-orang Yahudi memiliki “kejeniusan dalam beradaptasi dalam kondisi yang paling keras”.
Melihat ke Depan: Kebangkitan Komunitas di Luar Dunia
Dengan adanya momentum baru menuju kolonisasi bulan dan Mars, pertanyaan-pertanyaan ini menjadi semakin mendesak. Perayaan Chanukah yang dilakukan Astronot Jessica Meir di Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS) dan misi Artemis 2 yang akan datang menggarisbawahi perlunya solusi praktis. Film ini menunjukkan bahwa model Kibbutzim Israel—pemukiman komunal dan mandiri yang lahir dari kebutuhan sejarah—dapat memberikan kerangka kerja untuk membangun komunitas keagamaan di luar angkasa.
“Saat Anda berada di luar angkasa, Anda pasti ingin berbagi sebanyak mungkin hal… Kibbutzim akan menjadi penting untuk mempelajari cara melakukan hal tersebut.” – Kelly Weinsersmith, salah satu penulis “A City on Mars.”
Sejarah Ketahanan: Posisi Unik Masyarakat Yahudi
“Fiddler on the Moon” tidak menghindar dari babak kelam dalam sejarah Yahudi, menyoroti penganiayaan selama berabad-abad yang memaksa migrasi massal. Film ini membingkai hal ini sebagai sebuah paradoks: masyarakat yang ditentukan oleh perpindahan mungkin secara unik cocok untuk menjajah dunia baru.
Film dokumenter ini ditayangkan perdana di Festival Film Yahudi Internasional Boca dan sejak itu mendapat pujian kritis. Hal ini bergema di luar komunitas Yahudi, dan memicu perbincangan di festival-festival berbasis sains dan agama. Pada akhirnya, “Fiddler on the Moon” menunjukkan bahwa masa depan Yudaisme di luar angkasa bukan hanya tentang mengadaptasi hukum agama; ini tentang melanjutkan tradisi ketahanan yang telah mendefinisikan orang-orang Yahudi selama ribuan tahun.
